Selasa, 18 Desember 2018
Terbentuknya Belief
TERBENTUKNYA BELIEF
Inti dari suatu terapi adalah terciptanya suatu pola tertentu. Pola-pola tertentu itu terbentuk dari belief. Dan kumpulan dari belief ini bernama belief system. Dan belief system ini yang mempengaruhi hidup kita.
“Ibu Rina, kenapa anda datang ke pelatihan ini”
“ karena ingin belajar teknik baru”
“apa yang anda yakini tentang teknik baru?”
“bisa membantu menyelesaikan permasalahan klien dengan kombinasi teknik yang saya pakai”
“apa yang anda yakini, ketika anda sudah bisa menyelesaikan permasalahan klien?”
“menjalankan profesi kita sebagai tepat..”
“ apa yang anda yakini ketika anda sudah menjalankan profesi anda secara tepat?”
“ meningkatkan harga diri”
Nah ini yang namanya belief. Ketika seseorang memiliki belief, bahwa ia bisa membantu kliennya jika menguasai teknik hipnoterapi, dan saat kliennya sembuh maka itu meningkatkan harga dirinya. Maka keyakinannya inilah yang menggerakkannya untuk belajar secara serius. Namun beda lagi dengan peserta lain yang goalnya hanya sertifikat, maka kemungkinan yang ia tuju adalah yang penting dia dapat sertifikat.
Kita ngomongin tentang belief sekarang. Belief itu terbentuk dari beberapa hal. Yaitu :
1. Repetisi
ada pengulangan-pengulangan. Misalkan anda presentasi gagal, ada resentasi lagi gagal, dulu anda juga sering gagal, jika anda memaknai itu sebagai suatu kegagalan, maka belief anda tentang tampil didepan umum adalah “pasti gagal”,
sebaliknya, jika ada membentuk pemaknaan berbeda, saat gagal anda bilang “oh tidak apa-apa”, gagal lagi, anda bilang “tidak ada kata gagal, yang ada hanyalah belajar..”, it uterus menerus, sehingga lama kelamaan self efficacy nya meningkat dan yakin dia bisa presentasi. Dengan sugesti terus menerus maka keyakinan akan terbentuk.
2. Identifikasi Kelompok
Kalau kita bergaul dengan orang-orang yang semangat. Maka kita ketularan untuk punya semangat belajar. Kalau kita kumpul dengan orang yang suka menggunjingi orang, maka gak tau kenapa kita tiba-tiba juga suka menggunjingi orang. Nah identifikasi kelompok ini membuat belief kita berubah. Misalkan anda melakukan konseling kelompok agar peserta bisa mengikuti perubahan bersama kelompok.
3. Emotional Intens
Saya tanya sekarang. Yang sering anda ingat itu..pengalaman yang biasa saja tau pengalaman yang penuh emosi? Kalau saya tanyakan tepat 4 tahun yang lalu kira-kira anda ada dimana?apakah anda bisa menjawabnya?
“waktu itu anda melahirkan anak pertama anda jam berapa bu?”
“kerasanya waktu itu sih jam Sembilan..suruh nahan”
“suruh nahan?”
“iya, seharusnya dengan dokter, tapi yang ada bidan, bidannya bilang..bu ditahan dulu..jangan di eden dulu…”
“waktu itu berapa jam?”
“dokternya datang jam sebelas malam..langsung lahiran jam sebelas”
“jadi total berapa jam anda menahan itu?”
“mulai kontraksi kan jam enam…jadi ya sekitar lima jam..”
“waktu itu selama anda menunggu..anda makan atau tidak?”
“endak pak..”
“anda pakai baju apa?”
“dasteran..”
“ ada berapa perawat yang intens menangani ibu?”
“dua..”
“oke bu saya tanya yang lain ya”
“iya..”
“kira-kira lima tahun yang lalu bulan desember hari sabtu, minggu pertama anda ada dimana?”
“tidak ingat pak…”
Ketika emotional intens, seseorang lebih mudah menyerap sesuatu dari luar, atau saat ia menginteperetasikan sesuatu dan “menancap” dipikiran bawah sadar. Masuk ke long term memory.
Misalkan ada orang yang menghina kita, lalu kita marah, itu akan mudah teringat di masa depan. Atau kita lagi seneng banget, kita benar-benar mengingat peristiwa itu. Atau saat patah hati, benar-benar semuanya jelas banget. Kenapa? Karena saat emotional intens, pikiran sadar dan pikiran bawah sadar dengan yang namanya “jembatan emosi”, yang nanti akan kita gunakan untuk hipnoterapi juga. Ketika klien sulit untuk dibawa ke kondisi trance, maka kita bisa memakai jembatan emosi untuk mengakses wilayah pikiran bawah sadar.
Jika emotional intens ini sudah ada, maka penyembuhan bisa lebih cepat.
Ketika seseorang tidak tahu simtomnya berasal darimana, awal mulanya ia takut sama kucing itu kapan, maka dia disuruh ngakses rasa takutnya itu. Diperbesar. Lalu pada hitungan ketiga dia di suruh kembali, dimana waktu emosi itu pertama kali muncul. Biasanya ia langsung melihat di masa lalunya, pas di memori waktu itu. Jika kejadiannya waktu kecil, ya ia merasa seperti anak kecil (refivivikasi) atau juga bisa hanya sekedar mengingat dengan jelas (hipermnemsia).
Emosi yang intensi karena suatu peristiwa harusnya kan di proses. Tapi karena adanya defence mechanism yaitu di repress (di tekan) misalkan “aku gak boleh merasa seperti ini”. Kedua adalah mengingkari (denial), misalnya “ini bukan aku”, “aku baik-baik saja”, “aku tidak mengalami masalah..”. Semakin seseorang denial, semakin memorinya tidak terproses. Oleh karenanya, ada yang namanya proses “acceptance”, itu terjadi pemrosesan.
Jika semua ini tidak terproses, maka di amigdalanya itu tidak bisa membedakan, antara bahaya yang sesungguhnya, atau bayangan bahaya di memorinya?
Sebenarnya amigdala takut ini, sebenarnya adanya bahaya yang riil kan? Tapi karena bahaya yang riil itu sudah pernah terjadi tapi tidak di lepaskan, tetap disini tidak terproses, jadi bayangan tentang masa lalu itu adanya di pikiran, dan ketika ada pemicu (trigger) yang mirip dengan itu, maka ia merasakan bahaya, dan saat trigger dianggap sebagai suatu bahaya, amigdalanya pun bekerja. Akhirnya ia merasa cemas.
Lalu yang harus di netralkan sebenarnya adalah memorinya. Yang di netralkan harusnya semosi yang didalam ini. Dilepaskan. Ada yang namanya teknik pelepasan. Ketika dia menangis meledak-ledak, itu namanya abreaksi, waktu mengingat peristiwa itu. Maka itu kesempatan untuk, memproses emosi , itu kesempatan untuk menerima bahwa itu sebenarnya realita. Tadinya dia kan tidak mau menerima realita. Menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi. Tapi sebenarnya secara keseluruhan seringkali dilupakan bagian-bagian yang lain. Emosi akan lebih netral karena sudah release. Sehingga, ia melihat objek yang sama, dengan perasaan yang berbeda.
Memorinya tidak akan bisa dihilangkan, tapi dimaknai kembali. Ketika memori itu muncul, responnya biasa saja.
Dulu waktu sekolah SMP atau SMA mungkin kita pernah di bully dan merasa itu kenangan yang buruk. Namun banyak orang, yang melihat dari waktu saat ini, ternyata kenangan itu menjadi biasa saja. Karena kita sudah menjadi lebih kuat, dan dewasa. Sehingga kenangan itu menjadi netral.
Beberapa orang memang memiliki pemrosesan emosi secara alami sehingga tidak mengalami gangguan, akan tetapi beberapa orang yang lain tidak.
4. figure otoritas
sebagai seorang terapis, kita juga perlu untuk dirasa dipercaya oleh klien kita. Karena kalau tidak, maka intervensi kita tidak akan bisa berjalan dengan baik. Seperti salah satu rekan saya di suatu kesatuan militer, saat diminta untuk melakukan terapi untuk atasannya, ia menjadi gugup. Saya menyarankan kepadanya untuk berperan menjadi terapis, bukan sebagai bawahan. Cara yang bisa di coba dengan mengatakan kepada atasannya bahwa untuk sesi terapi, maka tidak ada yang namanya bawahan atau atasan. Kenapa ini penting? Karena jika terapis merasa tidak percaya diri, gerakan dan suaranya akan dapat terbaca oleh klien sehingga menimbulkan rasa tidak percaya.
Apapun yang disampaikan oleh figure otoritas, maka itu akan mudah terserap oleh seseorang.
5. Kondisi Hipnosis
Jika tidak ada repetisi, tidak ada emotional intens, tidak ada identifikasi kelompok, tidak ada figure otoritas. Jika kondisi hypnosis, maka sugesti akan lebih mudah bekerja menjadi suatu belief. Terlebih global belief nya sudah ditanamkan. Misalkan seseorang yang memiliki harga diri rendah, karena pola asuh yang terlalu menekan dan orangtua sering menyakiti dimasa lalu.
Lalu kita bilang bahwa dia tidak bisa sembuh. Itu langsung nancep. Kenapa? Ya karena memang dalam kondisi hypnosis, namun global beliefnya, belief-beliefnya yang lama, nyambung sama itu. Oleh karena itu kondisi hypnosis itu juga pembentuk belief.
Ada cerita begini, orang yang operasi, dalam kondisi anastesi, dokternya bilang “ini kayaknya gawat, ini kayaknya gak bisa”, setelah pasiennya bangun, dia tidak tambah sembuh, tapi tambah merasa sakit. Padahal dokter tidak membicarakan topic yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan pasien ini.
Ketika seseorang dalam keadaan anastesi, sebenarnya mirip dengan keadaan hypnosis. Apapun yang dimunculkan oleh di sekitarnya, itu akan masuk. Itulah juga kenapa orang tidak boleh menjenguk saat seseorang habis operasi? Selain menjaga kontaminasi, juga agar tidak terkontaminasi sugesti dari orang-orang yang menjenguknya.
Kondisi hypnosis memang penting untuk terjadinya perubahan yang lebih permanen. Namun jika menemui seseorang sulit untukdi hypnosis, maka kita bisa menggunakan emotional intens untuk membantunya melakukan pembelajaran ulang di pikiran bawah sadar.
Mungkin anda akan bertanya, “jadi kalau pakai hypnosis itu yang memprogram adalah terapisnya dong?”
Jadi inti dari semua hypnosis adalah “self hypnosis”. Jadi kita yang membimbing dia untuk menghipnosis dirinya sendiri. Kita itu seperti navigator saja, dia yang nyetir.
“enggak ah, kita yang memprogram dia”
“okey, anda program dia, tiga hari akan balik lagi”
misalkan dalam terapi aversif, kita memberi sugesti seperti ini, “mulai saat ini dan seterusnya, ketika anda menghisap rokok, maka mulut anda akan merasa pahit “, ini akan bisa bekerja, namun 3 hari akan hilang. Kenapa kira-kira? Karena bukan self hypnosis. Itu sugesti dari luar. Dan itu akan di kritisi oleh RAS. “lho ini kok aneh ini” begitu kata RAS nya bilang. Lama kelamaan akan habis sugesti itu. Makanya saat kita ikut training motivasi, wah semangat kan?! Pulang-pulang masih semangat. Besoknya? Masih semangat. Besoknya lagi?! Masih semangat. Besoknya lagi?! Biasa saja.
Kenapa? Karena sugestinya sudah hilang.
Beda lagi jika global beliefnya memang sudah sesuai. Misalkan anda memang percaya dengan belajar kepada ahlinya, maka diri anda akan mudah untuk mencapai pencapaian yang anda inginkan.
Nah, menumbuhkan bagaimana orang itu mau menghipnosis dirinya sendiri, itu yang perlu seni. Oleh karena itu, tidak heran jika beberapa kasus saya bisa menangani hanya satu kali sesi? Ya karena sebelumnya sudah ada usaha untuk meyakinkan dia bahwa dia bisa berubah.
Sebenarnya bukan saya yang membuat dia itu sembuh. Tapi dirinya sendiri. Kita kan harus membangun logikanya dulu. Dia gak percaya dengan yang namanya konseling, psikoterapi dan psikologi. Dia percayanya dengan hal mistis. Ya sudah, kita sesuaikan saja dengan beliefnya. Misalkan dalam kasus ada pasien yang merasa kesurupan dan dia percaya bahwa dirinya memang kesurupan, bukan sebab lain. Ya sudah kita bisa ngomong “gini lho bu. Katanya..kesurupan itu karena ibu suka ngelamun, dari ngelamun itu lalu pikirannya kosong, dan jin bisa masuk. Oleh karena itu agar tidak kosong ibu bisa lakukan sesuatu. Bepikiran positif. Ibu juga harus bekerja, gaul sama tetangga…”
Kira-kira apa yang terjadi dibandingkan dnegan kita harus menentang core beliefnya?jelasnya dia mungkin akan lebih mudah melakukan yang kita sarankan. Kenapa? Karena sejalan dengan beliefnya.
Intinya adalah, bagaimana kita bisa “menyelaraskan” antara yang diluar dengan yang didalam. Biasanya remaja itu paling sulit kalau kita lakukan intervensi atau konseling. Karena dia datangnya bukan karena keinginannya. Sendiri, tapi keinginan orangtua. Jadi pendekatan adalah pedekatan indirect lebih tepatnya. Dia yang ngomong, dia yang nyelesein, dia yang berubah sendiri.
Nah setelah dia sudah kondisi seperti itu, lurus tentang harapan masa depannya, baru kita memberikan suggestion.
Kalau ini belum tercipta. Kita kayak gak punya kendaraan untuk menuju kesana.
SourceDanang.
Rumah Sehat Thera Afiat
Jln. Kelapa Sawit Raya Blok Dd No.15
Kelapa Gading.
Jakarta utara.
Telp. 08111494599
087883171247
Ibu Sholeh +62 896-2697-9941
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar